Berikut ini kukutip dari artikel di Republika (tulisan Anif Punto Utomo) - sekedar ingin berbagi informasi tentang fenomena yang terjadi di negara kita.
Wajah Lain TKI di Malaysia
Sekitar 15 orang tampak duduk santai di sebuah kafe di kawasan apartemen Kampung Warisan, Kuala Lumpur (KL). Suasana Jumat malam pekan lalu itu, benar-benar mereka nikmati setelah sepekan penat bekerja di kantor. Sebagian besar tinggal di apartemen dekat kafe tersebut, tak heran kalau banyak yang saat itu bercelana pendek. Hangat, akrab, dan penuh ger-geran.
Siapa mereka? Mereka adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari nafkah di Malaysia. Ada yang baru enam bulan, tapi ada juga yang lebih dari empat tahun. Mereka merasa kerasan di Malaysia karena selain iklim kerjanya enak, juga masih dekat dengan Indonesia, sehingga minimal setahun sekali bisa pulang.
Tapi, jangan berpikir bahwa mereka adalah TKI yang selama ini sering jadi berita TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan para pekerja kasar. Mereka memang tenaga kerja dari Indonesia, tetapi tenaga kerja kelas atas, para profesional, para ekspatriat. Kebanyakan lulusan perguruan tinggi ternama di negeri ini. Ada juga yang pascasarjana. Bahkan, nyambi jadi dosen S2 di sana.
Mereka adalah profesional di bidang perminyakan dengan usia 35-45 tahun yang tergabung dalam Ikatan Ahli Teknik Minyak Indonesia (IATMI) cabang Kuala Lumpur (KL). Malam itu mereka sedang kumpul-kumpul. Banyak hal diperbincangkan, mulai dari prospek ketenagakerjaan di perminyakan sampai masalah copet di kereta api di KL.
Jumlah ekspatriat perminyakan cukup banyak, sekitar 150 orang. Mereka tersebar di perusahaan minyak internasional, seperti Murphy Oil, Amerada Hess, Schlumberger, Haliburton, dan tentu saja yang terbanyak di Petronas — lebih dari 20 orang. Selain di KL, mereka ada di Trengganu, Kerteh, Kinibalu-Sabah, sampai Miri-Sarawak.
Selain di bidang perminyakan, di Johor, para tenaga kerja intelek (TK intelek, begitu sebutan populer untuk mereka) banyak bekerja di perusahaan kontruksi di bidang migas. Lebih dari 100 orang bekerja di Malaysia Shipyard and Engineering Sdn, Sime Sembcorp Engineering Sdn Bhd, Technip, dan Saibos. Profesi lain yang juga cukup banyak adalah pilot. Setidaknya ada 30 pilot Malaysia Airlines dan 50 pilot Air Asia, yang dibajak dari maskapai penerbangan Indonesia. Ada juga alumni dari PT Dirgantara Indonesia, yang sudah mahal-mahal dibiayai sekolah ke luar negeri, dibajak Malaysia, karena iklim bekerja di Indonesia kurang kondusif.
Kehidupan sosial para ekspatriat tadi relatif tinggi. Apartemen yang ditinggali bersama keluarga, harga sewanya lebih dari 1.000 ringgit (Rp 2,6 juta) per bulan. Mereka juga memiliki mobil yang harganya di atas 60 ribu ringgit, meski banyak juga yang ke kantor lebih memilih naik kereta — monorel atau light train. Gajinya, 2.000-8.000 dolar AS per bulan!
Pada 2005 silam, butuh 2,5 juta TKI di seluruh dunia untuk menghasilkan devisa 2,5 miliar dolar AS, dan ditargetkan 4 miliar dolar AS pada tahun ini. Jika saja pendapatan ekspatriat tadi dihitung, dengan jumlah orang yang satu persen saja dari total TKI, mungkin akan menyumbang separuhnya. Gaji besar mereka akan mendatangkan devisa besar pula.
Keberadaan mereka memang sedikit banyak menepis anggapan bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri berketerampilan rendah. Kualifikasi mereka jelas sudah teruji. ”Kita nggak kalah sama mereka,” kata Rovicky Dwi Putrohari, alumnus Geologi UGM yang sudah dua tahun menjadi TK intelek di Kuala Lumpur.
Terbukti, kata Rovicky, hampir setiap proyek di lingkungan Petronas selalu ada pekerja TK intelek ini. Bahkan, karena reputasi itu pula, Human Resource Departement Petronas merasa perlu mengunjungi Fakultas Geologi UGM, dan universitas ternama lainnya untuk mencari bibit unggul. Saat ini tercatat 10 orang alumni geologi UGM bekerja di Petronas Malaysia.
Mulai mengalirnya ekspatriat itu, terutama di perminyakan, bermula awal 2000-an. Kala itu dunia bisnis masih lesu karena terpaan krisis 1997, ditambah dengan gaji yang masih rendah, mereka memilih bekerja ke Malaysia. Di samping memang Malaysia juga butuh tenaga profesional untuk mengisi kekosongan SDM, lantaran begitu pesatnya pertumbuhan ekonomi.
Cuma sayangnya, sampai sekarang belum ada tali silaturahim antara ekspatriat dengan tenaga Indonesia kelas bawah di Malaysia. Kebersamaan di rantau sangat diperlukan untuk memperkuat tali persaudaraan sesama orang Indonesiaa. Ketimpangan strata dan pendapatan dapat diredusir dengan semangat persaudaran agar tidak terjadi blok pemisah.
Tapi apa pun, kehadiran ekspatriat ini melengkapi kesuksesan beberapa orang Indonesia di negeri jiran ini. Kita tahu grup band seperti Peterpan, SO7, Dewa sangat terkenal di negeri itu, begitu pula penyanyi seperti Krisdayanti. Kemudian di sepak bola, Bambang Pamungkas menjadi salah satu pemain pujaan di Malaysia, khususnya Selangor.
Ada rasa kebanggaan memang ketika kita tahu bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri bukan hanya yang unskill, tetapi juga banyak yang high skill. Memang, secara umum orang-orang Indonesia di sana masih dipandang rendah. Tapi, dengan makin banyaknya ekspatriat, kesan bahwa tenaga kerja Indonesia melulu unskill mulai terkikis.
Hanya memang, kalau direnungkan lebih dalam, teramat sayang juga tenaga-tenaga terdidik kita harus pergi ke luar negeri (brain drain). Sementara banyak hal yang bisa dikerjakan di dalam negeri. Tapi, itu bisa dimaklumi ketika kondisi di Indonesia menurut mereka masih bikin kesal, bikin sebal, dan penuh dengan ketidakpastian.
Tak heran kalau pertanyaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berkesempatan makan malam bersama warga Indonesia di Malaysia beberapa waktu lalu, agak sulit mereka jawab. Pertanyaan itu, ”Apakah kalau Indonesia mulai membaik, saudara-saudara mau kembali?”