Tulisan berikut saya kutip dari Resonansi Republika, karena saya pikir pesan yang disampaikan adalah benar adanya.
Belajar dari Musibah Oleh : Zaim Uchrowi
Apa yang kita pelajari dari musibah?
Baru sepekan kita mengenang tragedi tsunami Aceh. Baru sepekan kita kembali mengurut dada atas peristiwa yang merenggut ratusan ribu jiwa serta menorehkan luka begitu dalam pada warga di ujung barat nusantara ini. Lalu, musibah pun kembali datang.
Mula-mula terjadi di Jember, Jawa Timur. Lereng Gunung Argopuro yang mulai botak menggelontorkan air bercampur lumpur dan batu. Gelontoran itu sekejap menjadi banjir bandang yang menerjang apa pun di hadapannya. Berapa jumlah korban? Kita belum tahu berapa persisnya jumlah mereka, Bukit Pawinihan di Banjarnegara pun longsor dan mengubur kampung Gunungrejo. Sekitar 200 orang diperkirakan terkubur longsoran itu, termasuk puluhan orang yang berjamaah salat Subuh di masjid setempat.
Tidakkah kita mengambil pelajaran dari musibah-musibah itu? Ataukah kita menganggapnya sebagai hal biasa yang layak untuk kita lupakan lagi sebagaimana musibah-musibah terdahulu yang juga telah kita lupakan. Jangankan musibah beberapa tahun lalu seperti banjir bandang yang menyapu kawasan wisata Sibolangit, Sumatra Utara. Longsor gunung sampah yang mengubur puluhan orang di Bandung setahun lalu pun tak lagi ada dalam ingatan. Padahal, musibah-musibah itu cermin wajah kita yang sebenarnya:
+ Kita abai pada alam. Alam tidak lagi kita pandang sebagai ayat-ayat Allah. Kita pura-pura tak tahu bahwa ayat kauniyah sama penting dengan ayat kauliyah. Para ulama tak tertarik mengkaji ayat kauniyah, apalagi masyarakat kebanyakan. Alam kita pandang tak lebih dari sekadar hamparan fisik buat dimanfaatkan. Kita tak peduli pada keadaannya.
+ Kita tak terlatih waspada. Kita terbiasa curiga, namun bukan waspada. Padahal, waspadalah yang harus senantiasa ada. Seberapa waspada suatu masyarakat atau bangsa terhadap setiap hal yang bakal datang, sematang itulah masyarakat atau bangsa tersebut.
+ Kita biasa menggampangkan persoalan. Sebenarnya kita sering tahu persoalan yang sedang dan mungkin terjadi. Tapi, kita cenderung tak sungguh-sungguh mengatasinya. Kita biarkan masalah, sampai masalah itu membesar dan menelan kita.
+ Kita tak menata wilayah. Kita bangsa ‘alami’ alias serbaboleh. Permukiman boleh di mana saja, bahkan di tempat rawan bencana. Di negara padat penduduk dan rawan bencana seperti Jepang, musibah tak menelan korban sebanyak di tempat kita.
+ Kita tak siap evakuasi. Saban tahun bencana selalu terjadi. Tetapi kita selalu terbata-bata, bagaimana menolong korbannya. Di Jember, korban sampai terjebak dua hari dalam guyuran hujan dan tanpa makanan.
+ Kita tak siap merehabilitasi. Bukan hanya fisik yang perlu direhabilitasi pascamusibah. Lebih dari itu adalah mental. Kasus Aceh mengajarkan pada kita: Betapa dalam trauma para korban yang harus dipulihkan.
+ Pejabat kita tak memikirkan rakyat. Berapa banyak di antara kita yang menduduki jabatan publik, namun pikirannya melulu tentang kekuasaan dan kekayaannya sendiri? Bila pejabat bersungguh-sungguh memikirkan rakyat, akan lebih banyak bencana yang dapat diantisipasi. Bila musibah memang tak terhindarkan, jumlah korban akan lebih dapat ditekan.
Musibah memang kehendak Allah. Kita juga harus berlapang dada menghadapi setiap musibah. Inna lillaahi wa inna ilaihi raji’un. Tapi, bukankah kehendak Allah dalam soal musibah hampir selalu paralel dengan ulah kita bersama. Setidaknya banyaknya jumlah korban musibah selalu paralel dengan kesiapan kita menghadapinya.
Karena itu tidakkah kita –sebagai umat terbaik karena beriman– merasa perlu belajar dari setiap musibah?