Renungan dari Resonansi Republika
Sebuah Cermin Bernama Bencana
Oleh : Zaim Uchrowi
Mahasuci Allah, pemilik seluruh alam semesta dan segenap jiwa! Kita dipersaksikan-Nya pada Indonesia yang belum pernah ada di masa-masa sebelumnya. Di Sidoarjo, Jawa Timur, lumpur terus saja menyembur, banjir merendam Jakarta, angin beliung merobohkan rumah-rumah (termasuk yang baru dibangun setelah gempa) di Yogya, longsor mengubur desa-desa di Manggarai, Flores, lalu rata pula Sumatra Barat oleh gempa. Entah seberapa besar kehidupan yang terempas oleh semua itu.
Kita dipersaksikan-Nya pula pada bencana kemanusiaan lainnya. Polio dan malnutrisi pada balita masih saja menjadi cerita. Demam berdarah terus aktif merenggut jiwa. Flu burung bukan saja belum teratasi, tapi juga membuat kita menjadi ajang bulan-bulanan dunia. Belum lagi permainan sindikasi kesehatan global yang membuat cairan infus pun menjadi barang langka dan mahal.
Kehidupan rakyat juga kian kembang kempis. Para nelayan harus menambatkan perahu-perahunya. Jumlah tangkapan ikan, harga solar, maupun cuaca tak bersahabat dengan mereka. Begitu pula nasib para petani. Banyak sawah tergenang air. Musim tanam harus ditunda. Pengusaha kecil menengah juga menjerit. Menurut mereka, tak pernah keadaan sesulit sekarang. Di tingkat bawah, ekonomi tersendat. Harga beras juga terus menanjak. Kebutuhan pokok itu telah menjadi barang yang tak lagi terbeli oleh sebagian rakyat.
Belum lagi petaka yang menusuk jantung perasaan kita. KM Senopati tenggelam dan hilang bersama ratusan penumpangnya. Lima atau enam kapal lain yang lebih kecil mengalami nasib yang sama. Ada pula kapal feri yang terbakar, hingga dengan tragedi KM Levina I. Kereta api yang terguling dari relnya telah menjadi cerita biasa. Pesawat Adam Air yang hilang cuma dapat ditemukan serpihannya di Selat Makassar. Lalu Garuda, harus pula terbakar bersama sebagian penumpangnya, di depan mata semua orang di Bandaran Adi Sucipto, Yogyakarta.
Apa yang harus diperbuat atas semua keadaan itu? Kita hanya dapat menggelengkan kepala. Begitu banyak persoalan yang harus dipecahkan dalam waktu yang sama. Begitu banyak pula hambatan buat mengatasinya. Lalu dari mana kita harus memulainya?
Kapan pun berkehendak, Allah Yang Mahakuasa selalu mampu menghadirkan petaka. Tapi, sepanjang urusannya adalah urusan dunia, sangat jarang Sang Pemilik Alam Semesta mengesampingkan hukum-hukum-Nya. Sunnatullah-Nya. Setiap petaka selalu dapat dikaitkan dengan takdir. Tapi, takdir juga hampir selalu menjadi cermin yang baik: Manusia atau bangsa macam apa sebenarnya kita?
Satu atau dua bencana mungkin memang ujian dari Tuhan. Namun rangkaian bencana adalah petunjuk nyata bahwa kita bukan bangsa baik. Setidaknya tidak berperilaku baik bagi diri sendiri, bagi lingkungan sekitar, apalagi bagi Tuhan. Betapa sering diri kita bermalas-malasan, memilih jalan pintas, bahkan menengadahkan tangan. Kita malas untuk terus belajar. Apalagi harus berkarya secara nyata. Sangat jarang kita berusaha keras mendisiplinkan diri agar dapat menjadi pribadi lebih baik.
Implikasi dari kualitas diri itu terasa dari kualitas kerja kita. Sebagian besar kita bekerja asal-asalan. Sekadar menuntaskan kewajiban, lalu dapat bayaran. Mutu tak cukup menjadi perhatian. Acap kali kita bahkan lebih buruk dari itu. Kita lebih sibuk untuk kepentingan sendiri meskipun hidup dari dana publik. Posisi dan wewenang tak kita gunakan benar-benar untuk membantu masyarakat atau membangun lingkungan.
Kekuasaan lebih untuk memperkukuh posisi sendiri. Agar lebih berkuasa, lebih kaya, juga lebih punya nama. Dengan perilaku begitu, bagaimana mungkin lingkungan dapat lebih terkelola, dan persoalan rakyat lebih terbantu teratasi? Tanpa terasa, kita lebih mengeksploitasi ketimbang membantu masyarakat dan mengelola lingkungan.
Kita tidak cukup merasa bersalah atas ketidakbertanggungjawaban demikian. Bahkan, di hadapan Tuhan. Sangka kita atribut keagamaan kita cukup untuk menutup ketidakbertanggungjawaban itu. Tuhan kita ajak bernegosiasi agar membenarkan setiap langkah kita sendiri. Sebuah arogansi yang perlahan namun pasti mematikan jiwa kemanusiaan kita sendiri. Maka, tidakkah kita pantas menerima semua musibah ini?
Tidakkah kita mau becermin dari rentetan bencana, untuk berubah dan bangkit menjadi manusia dan bangsa baru. Yakni, manusia dan bangsa yang lebih rendah hati, terus belajar, bekerja keras, menjauhi korupsi, serta bertanggung jawab atas setiap tugas kita.